“Ngomong-ngomong soal prosa Lelaki Langit oleh penulis puisi Usman Arrumy, aku jadi teringat guyonan Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, suatu malam padaku, kelakar tentang perbedaan puisi dan prosa seperti novel atau cerpen. Ibarat tinju, prosa itu pseudo boxing. Tinju-tinjuan. Nah, puisi itu tinju mur-ni. Rupanya, candaan ini tak berlaku umum. Buktinya aku tetap suka prosa, yaitu cerpen-cerpen karya maestro puisi Sutardji, sebagaimana tetap aku suka prosa, yaitu novel Lelaki Langit karya penyair Usman Arrumy. Puisi mereka jadi prosais, namun prosa mereka tetap puitis.” —Sujiwo Tejo, sastrawan dan budayawan Perpisahan itu telah mendorongku dalam mencari makna hidup yang sesungguhnya. Tanpa ada kamu, masihkah hidup bisa dinamakan hidup? Cintaku pada-mu menjadi bahan bakar untuk mengarungi kehidupan ini, tetapi dapatkah manusia menjadi kuat tanpa me-nulis puisi? Lelaki Langit merupakan seri kedua dari novel trilogi karya Usman Arrumy. Perpisahan Sora dan Lare mencip-takan kerinduan yang teramat dalam bagai laut dan luas bagaikan langit. Keduanya saling mencari dan yakin akan adanya pertemuan—meski entah kapan dan bagai-mana caranya.